Thursday, October 6, 2016

SOPIR KAMPUNG

Beberapa hari ini, tiba-tiba saja aku sering ingat kakak sepupu ku yang di kampung. Sudah lama aku tidak mendengar kabar darinya. Saat dia masih bekerja di kota Jogja, sering aku mengajaknya keluar untuk nongkrong di angkringan. Kami berdua bisa menghabiskan waktu berjam-jam, hanya untuk omong kosong yang kami anggap berisi. Sepertinya, aku merindukan saat-saat seperti itu. Handphone  ku tiba-tiba berdering. Aku lihat di layar hp, tertera nama kakak ku, yang biasa aku panggil ‘Mas’. Wah, rasanya seneng sekali, menerima telepon darinya.
“Halo”
“Halo mas”
“Kamu lagi di mana?”
“Aku di rumah mas”
“Ya sudah, aku mau mampir tempat kamu”
“Lho, kamu lagi di Jogja to mas?”
“Iya. Ini sudah dekat tempat kamu. Sudah dulu, aku sambil menyetir ini”
“Oke mas. Aku tunggu. Hati-hati”
Tak lama kemudian, ada suara mobil berhenti di halaman rumah kontrakan ku. Aku keluar dan aku lihat kakak sepupu ku turun dari mobil. Aku amati saat ia keluar dari mobil. Semua masih sama ekspresi wajahnya selalu ceria seperti, tak pernah dirundung masalah. Langkahnya juga masih sama. Ringan dan cepat seperti orang tak pernah membawa beban hidup. Tetapi itu tidaklah penting. Yang penting saat ini, aku bisa minum dan menghabiskan waktu seperti enam bulan yang lalu dengan kakak ku itu.
Aku mengajaknya masuk, tetapi ia milih duduk di kursi teras rumah. Aku tawarkan dia minuman, kopi atau teh. Ia meminta teh. Jarang sekali kakak ku ini minum kopi. Katanya asam lambungnya naik kalau minum kopi. Aku segera ke dapur membuat minuman teh untuknya dan kopi untuk ku. Aku penasaran apa kesibukan dia sekarang. Kakak ku ini orangnya suka kerja serabutan. Dan setiap peerjaan yang pernah dia coba, selalu menyisakan cerita yang seru buatku dan membuat aku selalu ingin mendengar kisahnya. Malam ini, aku ingin mendengar kisahnya. Setelah kopi, teh dan cemilan siap, aku membawa ke teras. Rasanya sudah seperti di angkringan, kami mulai ngobrol ngalor ngidul alias gak jelas.
“Mau kemana mas, kok bawa mobil APV gini?”
“Aku mau ke Prawirotaman”
“Ada apa?”
“Jemput turis”
“Ha? Jemput turis? Orang luar negeri? Wong londo?”
“Ia. Namanya juga turis, ya dari luar negeri lah”
“Lho, sudah tidak kerja di instalasi listrik lagi mas?”
“Belum ada panggilan lagi. Jadi yang kerja yang ada saja”
“Wah... wah... mantap. Sekarang kerjaanya jemput wong londo. Hehehe”
“Ya habis adanya kerjaan ini. Gimana?”
“Terus, di mobil diam apa ngomong-ngomong mas sama turisnya?”
“Ya ngomong lah. Masa diam saja. Turisnya bingung kalau sopirnya diam saja”
“Lah... terus ngomong pakai bahasa apa?”
“Yo bahasa inggris, kamu ini piye to? mosok bahasa Jawa. Turisnya yo gak ngerti
“Lah.. memang kamu bisa bahasa Inggris mas?”
“Wah... ngenyek kamu. Ya bisa lah. Aku kok gak bisa. Ha ha ha”
“Hah? Yang bener mas?”
Aku masih belum percaya kakak sepupu ku, sekarang bisa bahasa Inggris. Seingat ku, saat kami masih sama-sama di kampung enam tahun yang lalu, kerjaanya masih sama. Sama-sama kerja nyangkul di ladang pertanian milik tetangga dan tak pernah aku mendengar sepatah kata pun bahasa Inggris yang ia ucapkan. Setahun kemudian, ia merantau ke Jakarta. Aku merantau ke Jogja. Lalu, enam bulan yang lalu kami tinggal di kota yang sama. Nongkrong di angkringan yang sama. Tak pernah aku mendengar sepatah kata pun bahasa Inggris yang kelur dari mulutnya. Tetapi, sore ini, ia akan menjemput turis dari luar negeri, wong londo, pakai bahasa Inggris. Rasanya tidak masuk akal. Aku semakin penasaran, apa benar kakak ku itu bisa bahasa Inggris.
“Kamu pasti tidak percaya. Jangan salah. Biar pun kalau di kampung kerjaanya nyangkul, cari rumput. Tapi, kalau sudah sama turis, yo ngomonge bahasa Inggris.hehehe”
Aku masih sulit percaya dengan apa yang dikatakan kakak ku itu. Dengan percaya diri, ia mulai menceritakan pengalamanya, selama menjadi sopir travel dan mengantar para turis dari Jogja ke  Candi Prambanan, Keraton Solo, ke Gunung Bromo, terakhir ke pulau Bali. Begitu semangat ia menceritakan pengalamanya itu.
“Sebenarnya, sudah lama aku ditawari jadi sopir di travel ini.  Antar jemput turis dari Jogja ke Bromo dan pulau Bali”
“Lha, terus kenapa gak dari dulu diambil? Kenapa baru sekarang mas?”
“Awalnya, aku juga takut ngambil kerjaan ini. Tapi, karena butuh uang dan tidak ada kerjaan lain, ya terpaksa aku ambil. Sebenarnya, ini sudah yang ke tiga kalinya”
“Hah? Jadi sudah tiga kali ke Jogja dan tidak mampir ke sini?”
“Waktu jemput turis pertama kali sudah tidak kepikiran mampir tempat kamu. Isinya Cuma takut”
“Takut? Takut apa?”
“Ya takutlah. Takut nanti kalau ketemu turisnya mau ngomong apa? kalau tidak bisa ngomong bagaimana? Kalau ngomongnya salah, marah gk turisnya? Kalau turisnya marah bagaimana? Haaah... dua hari aku gak bisa tidur gara-gara takut mau mau jemput pertama kali”
“Hahaha... seru ya mas”
“Ya seru kalau kamu dengar ceritanya seperti ini. Coba aja kalau kamu yang jadi sopirnya, pasti ngompol-ngompol kalau turisnya tanya, terus kamu gak ngerti maksudnya”
“Hehehe... gak pingin nyoba mas. Tapi kayaknya seru ya mas”
“Lha iya, kalau mau merasakan seperti apa serunya, sekali kali kamu coba”
“Kapan – kapan lah mas.  Terus... terus... akhirnya, bisa ngomong pakai bahasa Inggris mas?”
“Ya bisa. Tapi setiap kali ngomong deg-degan sama keringat dingin terus”
“Hahaha... kok bisa keringat dingin?”
Sebelum melanjutkan ceritanya, kakak sepupu ku meneguk teh anget dan mengabil sepotong kue kering yang aku sajikan. Ia  membenarkan posisi duduknya, seperti seorang kakek yang hendak mendongengi cucunya. Ia mulai menceritakan pengalaman pertamanya mengantar turis itu. Banyak sekali kesalahan karena dia tidak mengerti maksud turis itu. Namun, hal itu tidak membuatnya mundur. Dalam hati, aku mengagumi keeranian kakak ku itu.
“Pertama kali itu, rasanya Cuma tegang dan tegang. Jadi setiap kali melewati tempat wisata, aku harus tanya. Waktu lewat candi Prambanan, harus tanya. ‘Apakah tuan dan nyonya mau mampir ke Candi Prambanan?’ gitu”
“Terus...”
“Apa coba bahasa Inggrisnya ‘Apa tuan dan nyonya mau mampir ke candi Prambanan?’ apa?” tanya kakak ku
“Apa ya? Hehe aku sudah lupa mas?”
“Halah... tidak tahu aja ngaku lupa. Aku juga tidak tahu artinya. Tapi aku di kasih catatan sama bos ku. Sebenarnya, sudah aku hafalin sehari semalam, sebelum menjemput turisnya. Masalahnya, pas sampai di dekat candi Prambanan, kalimat yang aku hafalin itu hilang semua”
“Waduh, lha terus, gimana ngomong ke turisnya?”
“Saking paniknya, aku pakai jari. Menunjuk-nunjuk candi prambanan. Turisnya tidak ngerti maksud ku”
“Terus-terus...”
“Aku langsung belokan mobilnya ke arah candi Prambanan. Turisnya jawab ‘wish all. Wish all’. Aku tidak ngerti apa yang diucpakan turis itu. Jadi aku tetap jalan menuju pintu masuk candi. Baru aku ngerti setelah turisnya ngomong lagi, ‘wish all, wish all’ terus tanganya dilambai-lambaikan, memberi isyarat tidak mampir. Langsung keringat dingin mengalir. Mobil langsung aku putar kembali ke jalan raya”
“Ya ampuuuun... terus turisnya marah mas?”
“Untung turisnya tidak marah. Karena sebelum berangkat aku sudah ngomong kalau bahasa Inggris ku tidak lancar. Kalau ada kesalahan mohon dimaafkan. Jadi turisnya sudah tahu”
“Terus, setelah itu, gimana mas? masih ngomong apa lagi?”
“Ya masih banyak. Aku minta maaf berkali-kali. Turisnya jawab ‘no problem’. Wah lega dapat jawaban itu. Setelah itu, kalau mau ngomong aku bilang, ‘saya tranlate dulu’. ‘oh yes. No problem’. Aku terjemahkan dulu di goolge tranlate, baru aku sampaikan. Haduh, pokok susah kalau tidak bisa bahasa Inggris. Setelah seperti ini, baru nyesel, tidak belajar bahasa Inggris”
“Hem... iya mas. Dulu kita gak merasa penting ya belajar bahasa Inggris”
“Iya, sekarang baru tahu pentingnya”
Memang tak pernah terlintas di pikiran ku soal belajar bahasa Inggris. Apa lagi dulu waktu masih di kampung. Meskipun saat sekolah SMP mendapat pelajaran bahasa Inggris, aku merasa tidak terlalu penting bejalar bahasa Inggris, toh kalau sudah lulus SMP, paling juga kerjaanya mencangkul atau cari rumput. Kalau tidak, paling ikut merantau teman-teman sekampung di kota besar dan mereka juga tidak bisa bahasa Inggris. Mungkin seperti itu juga pikiran kakak ku dulu. Setelah mengalami seperti ini, baru menyesal.
“Tapi menyesal pun tidak ada Guna. Untungnya, dari kantor travel, juga sudah dikasih catatan, apa saja yang harus disampaikan saat menjemput turis. Semua bahasa Inggris. Aku catat semua ini seperti ini” lanjut kakak ku
Ia, menunjukan catatan yang dia tulis di aplikasi note yang ada di smartphone-nya. Aku pun tidak bisa membaca atau mengucapkan dengan baik dan benar kosa kata bahasa Inggris itu. Rasanya, lidah Jawa ku kaku, saat mengucapkan bahasa itu. Kaka ku memberi sedikit trik yang ia dapat dari temanya. Saat melafalkan kosa kata bahasa Inggris, katanya harus mengurangi huruf ‘R’. Aku mencoba mengucapkan dengan mengurangi pengunaan huruf ‘R’. Memang nadanya jadi beda. Tetepi, tetap saja rasanya masih tidak enak. Kesannya seperti dibuat-buat dan seperti sok pinter. Tidak tahu mengapa bisa muncul kesan seperti itu.
“Ya memang begitu logat bahasa Inggris. Meskipun susah, meskipun tidak nyaman, kalau mau bisa, ya harus dicoba dan dilatih terus”
“Hem... begitu ya. Terus ada kejadian apa lagi mas yang berkesan?” potong ku, untuk mengalihkan pembicaraan agar kakak ku tidak mengajari aku bahasan Inggris.hehehe.
“Ya masih banyak. Misalnya, pas turisnya tanya. ‘Apakah perjalanan masih lama’. Yang ini aku ngerti maksudnya. Tapi, aku tidak bisa mengucapkan jawabanya”
“Lho, terus gimana mas?”
“Pakai bahasa isyarat lagi”
“Bahasa isyarat bagaimana? Lha kamu mau jawab apa mas?”
“Aku itu mau jawab masih dua puluh kilo meter. Coba, bahasa Inggrisnya dua puluh kilo meter apa?”
“Apu ya? lupa mas.hehehe”
“Halah, gak bisa aja gak mau ngaku. Aku itu Cuma ingat ‘two’ itu artinya dua. ‘ten’ sepuluh. Jadi aku menunjukan dua jari ku sambil ngomong  ‘two, two, two’. Turisnya gak ngerti. Aku ulang lagi dengan menunjukan dua jari ku tambah sepuluh jari ku. Jadi aku ngomong ‘two, ten’. Turisnya agak ngerti maksud ku. Terus dia nyambung. ‘twenty minute’. Aku jawab lagi. ‘no, no menit’  turisnya nyabung lagi ‘twenty kilometer’. Aku langsung jawab ‘yes, yes, twenty kilometer’. ‘oh... okay okay’. Waah rasanya plong setelah turisnya bilang oke”
“Hahaha pasti lucu kalau di rekam mas. Hahaha”
“Kalau sekarang ya jadi lucu. Waktu itu, keringat dingin. Aku banyak belajar dari pengalaman ini. Aku pikir, asal aku tidak gengsi, tidak sok pinter, kalau ada sedikit kesalahan seperti itu, turis masih memaafkan. Aku sadar karena masih kurang lancar bahasa Inggris ku, aku berusaha melayani tamu sepenuh hati saja. Misalnya, saat mengantar tamu yang kedua. Mereka sudah kakek, nenek. Waktu mau ke puncak Bromo aku antar sampai puncak. Aku bantu bawakan barang-barangnya. Aku melakukan itu meskipun itu bukan bagian dari kerjaanku. Hal  seperti itu, ternyata membuat mereka senang”
“Oh... begitu ya mas. Kalau temanmu yang pinter bahasa Inggris gitu juga ada mas?”
“Ada. Di Prawiro taman. Mbah Wo panggilanya. Umurnya enam puluh lima tahun. Tapi, menguasai tiga bahasa. Bahasa Inggris, bahasa Belanda sama Bahasa Polandia. Aku benar-benar salut. Aku banyak belajar sama mbah Wo. Pasti tidak gampang, sampai bisa menguasai tiga bahasa. Katanya, dulu dia belajar juga dari banyak orang. Kalau tidak tahu tanya, sama siapa saja yang mau mengajari. Menurut ku, itu luar biasa. Mbah-mbah saja bisa menguasai tiga bahasa.  Masa, kita yang masih muda tidak bisa. Meskipun, kita dari kampung, perantauan, kalau di kampung kerjaannya nyangkul, cari rumput, tidak ada salahnya belajar seperti ini. Suatu saat kita pasti membutuhkan”. 
Mendengar cerita kakak ku itu, rasanya aku seperti diajak masuk ke dunia baru. Dunia belajar, belajar dan belajar. Dunia yang sangat malas sekali aku tengok, apalagi aku masuki dan mencobanya. Percakapan dengan kakak ku dari sore sampai malam itu, membuat aku berpikir. Bahwa, belajar itu tidak mengenal batas ruang dan waktu.

Oleh, Winarto Jojgakarta 30 Agustus 2016

0 comments:

Post a Comment