“Halo”
“Halo
mas”
“Kamu
lagi di mana?”
“Aku
di rumah mas”
“Ya
sudah, aku mau mampir tempat kamu”
“Lho,
kamu lagi di Jogja to mas?”
“Iya.
Ini sudah dekat tempat kamu. Sudah dulu, aku sambil menyetir ini”
“Oke
mas. Aku tunggu. Hati-hati”
Tak
lama kemudian, ada suara mobil berhenti di halaman rumah kontrakan ku. Aku
keluar dan aku lihat kakak sepupu ku turun dari mobil. Aku amati saat ia keluar
dari mobil. Semua masih sama ekspresi wajahnya selalu ceria seperti, tak pernah
dirundung masalah. Langkahnya juga masih sama. Ringan dan cepat seperti orang
tak pernah membawa beban hidup. Tetapi itu tidaklah penting. Yang penting saat
ini, aku bisa minum dan menghabiskan waktu seperti enam bulan yang lalu dengan
kakak ku itu.
Aku
mengajaknya masuk, tetapi ia milih duduk di kursi teras rumah. Aku tawarkan dia
minuman, kopi atau teh. Ia meminta teh. Jarang sekali kakak ku ini minum kopi.
Katanya asam lambungnya naik kalau minum kopi. Aku segera ke dapur membuat
minuman teh untuknya dan kopi untuk ku. Aku penasaran apa kesibukan dia
sekarang. Kakak ku ini orangnya suka kerja serabutan. Dan setiap peerjaan yang
pernah dia coba, selalu menyisakan cerita yang seru buatku dan membuat aku
selalu ingin mendengar kisahnya. Malam ini, aku ingin mendengar kisahnya. Setelah
kopi, teh dan cemilan siap, aku membawa ke teras. Rasanya sudah seperti di
angkringan, kami mulai ngobrol ngalor
ngidul alias gak jelas.
“Mau
kemana mas, kok bawa mobil APV gini?”
“Aku
mau ke Prawirotaman”
“Ada
apa?”
“Jemput
turis”
“Ha?
Jemput turis? Orang luar negeri? Wong
londo?”
“Ia.
Namanya juga turis, ya dari luar negeri lah”
“Lho,
sudah tidak kerja di instalasi listrik lagi mas?”
“Belum
ada panggilan lagi. Jadi yang kerja yang ada saja”
“Wah...
wah... mantap. Sekarang kerjaanya jemput wong
londo. Hehehe”
“Ya
habis adanya kerjaan ini. Gimana?”
“Terus,
di mobil diam apa ngomong-ngomong mas sama turisnya?”
“Ya
ngomong lah. Masa diam saja. Turisnya bingung kalau sopirnya diam saja”
“Lah...
terus ngomong pakai bahasa apa?”
“Yo
bahasa inggris, kamu ini piye to? mosok
bahasa Jawa. Turisnya yo gak ngerti”
“Lah..
memang kamu bisa bahasa Inggris mas?”
“Wah...
ngenyek kamu. Ya bisa lah. Aku kok
gak bisa. Ha ha ha”
“Hah?
Yang bener mas?”
Aku
masih belum percaya kakak sepupu ku, sekarang bisa bahasa Inggris. Seingat ku, saat
kami masih sama-sama di kampung enam tahun yang lalu, kerjaanya masih sama.
Sama-sama kerja nyangkul di ladang pertanian milik tetangga dan tak pernah aku
mendengar sepatah kata pun bahasa Inggris yang ia ucapkan. Setahun kemudian, ia
merantau ke Jakarta. Aku merantau ke Jogja. Lalu, enam bulan yang lalu kami
tinggal di kota yang sama. Nongkrong di angkringan yang sama. Tak pernah aku
mendengar sepatah kata pun bahasa Inggris yang kelur dari mulutnya. Tetapi,
sore ini, ia akan menjemput turis dari luar negeri, wong londo, pakai bahasa Inggris. Rasanya tidak masuk akal. Aku
semakin penasaran, apa benar kakak ku itu bisa bahasa Inggris.
“Kamu
pasti tidak percaya. Jangan salah. Biar pun kalau di kampung kerjaanya
nyangkul, cari rumput. Tapi, kalau sudah sama turis, yo ngomonge bahasa Inggris.hehehe”
Aku
masih sulit percaya dengan apa yang dikatakan kakak ku itu. Dengan percaya
diri, ia mulai menceritakan pengalamanya, selama menjadi sopir travel dan
mengantar para turis dari Jogja ke Candi
Prambanan, Keraton Solo, ke Gunung Bromo, terakhir ke pulau Bali. Begitu
semangat ia menceritakan pengalamanya itu.
“Sebenarnya,
sudah lama aku ditawari jadi sopir di travel ini. Antar jemput turis dari Jogja ke Bromo dan pulau
Bali”
“Lha,
terus kenapa gak dari dulu diambil? Kenapa baru sekarang mas?”
“Awalnya,
aku juga takut ngambil kerjaan ini. Tapi, karena butuh uang dan tidak ada
kerjaan lain, ya terpaksa aku ambil. Sebenarnya, ini sudah yang ke tiga
kalinya”
“Hah?
Jadi sudah tiga kali ke Jogja dan tidak mampir ke sini?”
“Waktu
jemput turis pertama kali sudah tidak kepikiran mampir tempat kamu. Isinya Cuma
takut”
“Takut?
Takut apa?”
“Ya
takutlah. Takut nanti kalau ketemu turisnya mau ngomong apa? kalau tidak bisa
ngomong bagaimana? Kalau ngomongnya salah, marah gk turisnya? Kalau turisnya
marah bagaimana? Haaah... dua hari aku gak bisa tidur gara-gara takut mau mau
jemput pertama kali”
“Hahaha...
seru ya mas”
“Ya
seru kalau kamu dengar ceritanya seperti ini. Coba aja kalau kamu yang jadi
sopirnya, pasti ngompol-ngompol kalau turisnya tanya, terus kamu gak ngerti
maksudnya”
“Hehehe...
gak pingin nyoba mas. Tapi kayaknya seru ya mas”
“Lha
iya, kalau mau merasakan seperti apa serunya, sekali kali kamu coba”
“Kapan
– kapan lah mas. Terus... terus...
akhirnya, bisa ngomong pakai bahasa Inggris mas?”
“Ya
bisa. Tapi setiap kali ngomong deg-degan sama keringat dingin terus”
“Hahaha...
kok bisa keringat dingin?”
Sebelum
melanjutkan ceritanya, kakak sepupu ku meneguk teh anget dan mengabil sepotong
kue kering yang aku sajikan. Ia membenarkan posisi duduknya, seperti seorang
kakek yang hendak mendongengi cucunya. Ia mulai menceritakan pengalaman
pertamanya mengantar turis itu. Banyak sekali kesalahan karena dia tidak
mengerti maksud turis itu. Namun, hal itu tidak membuatnya mundur. Dalam hati,
aku mengagumi keeranian kakak ku itu.
“Pertama
kali itu, rasanya Cuma tegang dan tegang. Jadi setiap kali melewati tempat
wisata, aku harus tanya. Waktu lewat candi Prambanan, harus tanya. ‘Apakah tuan
dan nyonya mau mampir ke Candi Prambanan?’ gitu”
“Terus...”
“Apa
coba bahasa Inggrisnya ‘Apa tuan dan nyonya mau mampir ke candi Prambanan?’
apa?” tanya kakak ku
“Apa
ya? Hehe aku sudah lupa mas?”
“Halah...
tidak tahu aja ngaku lupa. Aku juga tidak tahu artinya. Tapi aku di kasih
catatan sama bos ku. Sebenarnya, sudah aku hafalin sehari semalam, sebelum
menjemput turisnya. Masalahnya, pas sampai di dekat candi Prambanan, kalimat
yang aku hafalin itu hilang semua”
“Waduh,
lha terus, gimana ngomong ke turisnya?”
“Saking
paniknya, aku pakai jari. Menunjuk-nunjuk candi prambanan. Turisnya tidak
ngerti maksud ku”
“Terus-terus...”
“Aku
langsung belokan mobilnya ke arah candi Prambanan. Turisnya jawab ‘wish all. Wish all’. Aku tidak ngerti
apa yang diucpakan turis itu. Jadi aku tetap jalan menuju pintu masuk candi.
Baru aku ngerti setelah turisnya ngomong lagi, ‘wish all, wish all’ terus tanganya dilambai-lambaikan, memberi
isyarat tidak mampir. Langsung keringat dingin mengalir. Mobil langsung aku
putar kembali ke jalan raya”
“Ya
ampuuuun... terus turisnya marah mas?”
“Untung
turisnya tidak marah. Karena sebelum berangkat aku sudah ngomong kalau bahasa
Inggris ku tidak lancar. Kalau ada kesalahan mohon dimaafkan. Jadi turisnya
sudah tahu”
“Terus,
setelah itu, gimana mas? masih ngomong apa lagi?”
“Ya
masih banyak. Aku minta maaf berkali-kali. Turisnya jawab ‘no problem’. Wah lega dapat jawaban itu. Setelah itu, kalau mau ngomong
aku bilang, ‘saya tranlate dulu’. ‘oh yes. No problem’. Aku terjemahkan
dulu di goolge tranlate, baru aku
sampaikan. Haduh, pokok susah kalau tidak bisa bahasa Inggris. Setelah seperti
ini, baru nyesel, tidak belajar bahasa Inggris”
“Hem...
iya mas. Dulu kita gak merasa penting ya belajar bahasa Inggris”
“Iya,
sekarang baru tahu pentingnya”
Memang
tak pernah terlintas di pikiran ku soal belajar bahasa Inggris. Apa lagi dulu
waktu masih di kampung. Meskipun saat sekolah SMP mendapat pelajaran bahasa
Inggris, aku merasa tidak terlalu penting bejalar bahasa Inggris, toh kalau
sudah lulus SMP, paling juga kerjaanya mencangkul atau cari rumput. Kalau
tidak, paling ikut merantau teman-teman sekampung di kota besar dan mereka juga
tidak bisa bahasa Inggris. Mungkin seperti itu juga pikiran kakak ku dulu. Setelah
mengalami seperti ini, baru menyesal.
“Tapi
menyesal pun tidak ada Guna. Untungnya, dari kantor travel, juga sudah dikasih
catatan, apa saja yang harus disampaikan saat menjemput turis. Semua bahasa
Inggris. Aku catat semua ini seperti ini” lanjut kakak ku
Ia,
menunjukan catatan yang dia tulis di aplikasi note yang ada di smartphone-nya.
Aku pun tidak bisa membaca atau mengucapkan dengan baik dan benar kosa kata
bahasa Inggris itu. Rasanya, lidah Jawa ku kaku, saat mengucapkan bahasa itu.
Kaka ku memberi sedikit trik yang ia dapat dari temanya. Saat melafalkan kosa
kata bahasa Inggris, katanya harus mengurangi huruf ‘R’. Aku mencoba
mengucapkan dengan mengurangi pengunaan huruf ‘R’. Memang nadanya jadi beda. Tetepi,
tetap saja rasanya masih tidak enak. Kesannya seperti dibuat-buat dan seperti
sok pinter. Tidak tahu mengapa bisa muncul kesan seperti itu.
“Ya
memang begitu logat bahasa Inggris. Meskipun susah, meskipun tidak nyaman,
kalau mau bisa, ya harus dicoba dan dilatih terus”
“Hem...
begitu ya. Terus ada kejadian apa lagi mas yang berkesan?” potong ku, untuk mengalihkan
pembicaraan agar kakak ku tidak mengajari aku bahasan Inggris.hehehe.
“Ya
masih banyak. Misalnya, pas turisnya tanya. ‘Apakah perjalanan masih lama’.
Yang ini aku ngerti maksudnya. Tapi, aku tidak bisa mengucapkan jawabanya”
“Lho,
terus gimana mas?”
“Pakai
bahasa isyarat lagi”
“Bahasa
isyarat bagaimana? Lha kamu mau jawab apa mas?”
“Aku
itu mau jawab masih dua puluh kilo meter. Coba, bahasa Inggrisnya dua puluh
kilo meter apa?”
“Apu
ya? lupa mas.hehehe”
“Halah,
gak bisa aja gak mau ngaku. Aku itu Cuma ingat ‘two’ itu artinya dua. ‘ten’ sepuluh.
Jadi aku menunjukan dua jari ku sambil ngomong
‘two, two, two’. Turisnya gak
ngerti. Aku ulang lagi dengan menunjukan dua jari ku tambah sepuluh jari ku.
Jadi aku ngomong ‘two, ten’. Turisnya
agak ngerti maksud ku. Terus dia nyambung. ‘twenty
minute’. Aku jawab lagi. ‘no, no
menit’ turisnya nyabung lagi ‘twenty kilometer’. Aku langsung jawab ‘yes, yes, twenty kilometer’. ‘oh... okay
okay’. Waah rasanya plong setelah turisnya bilang oke”
“Hahaha
pasti lucu kalau di rekam mas. Hahaha”
“Kalau
sekarang ya jadi lucu. Waktu itu, keringat dingin. Aku banyak belajar dari
pengalaman ini. Aku pikir, asal aku tidak gengsi, tidak sok pinter, kalau ada
sedikit kesalahan seperti itu, turis masih memaafkan. Aku sadar karena masih
kurang lancar bahasa Inggris ku, aku berusaha melayani tamu sepenuh hati saja.
Misalnya, saat mengantar tamu yang kedua. Mereka sudah kakek, nenek. Waktu mau
ke puncak Bromo aku antar sampai puncak. Aku bantu bawakan barang-barangnya.
Aku melakukan itu meskipun itu bukan bagian dari kerjaanku. Hal seperti itu, ternyata membuat mereka senang”
“Oh...
begitu ya mas. Kalau temanmu yang pinter bahasa Inggris gitu juga ada mas?”
“Ada.
Di Prawiro taman. Mbah Wo panggilanya. Umurnya enam puluh lima tahun. Tapi, menguasai
tiga bahasa. Bahasa Inggris, bahasa Belanda sama Bahasa Polandia. Aku benar-benar
salut. Aku banyak belajar sama mbah Wo. Pasti tidak gampang, sampai bisa menguasai
tiga bahasa. Katanya, dulu dia belajar juga dari banyak orang. Kalau tidak tahu
tanya, sama siapa saja yang mau mengajari. Menurut ku, itu luar biasa.
Mbah-mbah saja bisa menguasai tiga bahasa.
Masa, kita yang masih muda tidak bisa. Meskipun, kita dari kampung, perantauan,
kalau di kampung kerjaannya nyangkul, cari rumput, tidak ada salahnya belajar
seperti ini. Suatu saat kita pasti membutuhkan”.
Mendengar
cerita kakak ku itu, rasanya aku seperti diajak masuk ke dunia baru. Dunia belajar,
belajar dan belajar. Dunia yang sangat malas sekali aku tengok, apalagi aku
masuki dan mencobanya. Percakapan dengan kakak ku dari sore sampai malam itu, membuat
aku berpikir. Bahwa, belajar itu tidak mengenal batas ruang dan waktu.
Oleh,
Winarto Jojgakarta 30 Agustus 2016
0 comments:
Post a Comment